Bob Marley
Dari St. Ann Parish ke Pucuk Dunia
Sulitnya keadaan sosial dan ekonomi yang menerpa Jamaika, tidak membuat Bob Marley
yang saat itu hidup dalam kemiskinan menyerah begitu saja. Hal ini bisa
kita rasakan dari karya-karya ikon reggae legendaris ini. Karya nan
penuh irama perjuangan, harapan dan kebebasan. Lahir pada tanggal 6
Februari 1945, di St. Ann Parish, Jamaika, pemilik nama lengkap Robert
’’Nesta” Marley ini, bisa dibilang orang yang paling berperan dalam
mempopulerkan musik reggae kepada dunia.
Bob
Marley terinspirasi bermain gitar dari teman semasa kecilnya Neville
’’Bunny O’Riley Livingston”, yang juga merupakan saudara angkatnya.
Keduanya pindah ke Kingston pada akhir 1950 dan tinggal di Trench Town,
salah satu daerah paling miskin di kota itu. Meskipun demikian, Trench
Town Juga dikenal sebagai distirk yang menghasilkan musisi lokal terbaik
di Jamaika. Hal yang paling disukai Bob Marley dari tempat itu adalah,
dia bisa mendengarkan musik-musik luar negeri melalui radio dan jukebox
disana. Dia sangat menyukai musisi seperti Ray Charles, Elvis Presley,
Fats Domino, dan The Drifters
.
Marley
dan Livingston menghabiskan banyak waktunya untuk bermusik. Dibawah
ajaran dari veteran pop Jamaika, Joe Higgs, Marley mengembangkan
kemampuan bermain gitar dan bernyanyinya. Disana juga dia bertemu salah
satu murid dari Higgs, Peter Macintosh (Peter Tosh), yang nantinya menjadi orang yang berperan penting dalam karir Bob Marley.
Sebelum
membentuk grup, Bob Marley sempat mengeluarkan beberapa lagu dibawah
produser rekaman lokal, Leslie Kong, salah satu singlenya adalah ‘Jugde
Not’ dirilis pada 1962. Awal karir sebagai penyanyi solo, diawali dengan
tidak berjalan lancar hingga akhrinya dia menemukan kesuksesan saat
membentuk “The Wailing Wailers”, bersama Livingston, dan Tosh pada 1963.
Dengan
bertambahnya personil baru, Junior Braithwaite, Beverly Kelso dan
produser Coxsone Dodd awal kepopuleran The Wailers dimulai saat merilis
single pertama yang berjudul ‘’Slimmer Down’ yang sangat digemari di
Jamaika, bahkan berhasil mendapatkan posisi puncak pada Top of The
Jamaican Charts pada 1964. Ditengah kesuksesannya, The Wailers harus
ditinggalkan oleh kedua personilnya, Braithwaite dan Kelso pada tahun
1965 karena masalah finansial. Marley, Livingston dan Tosh melanjutkan
grup itu sebagai trio dan meraih kembali kepopuleran mereka melalui
single ‘Rude Boy’. Namun lagi-lagi The Waliers kembali mendapatkan
masalah, saat mereka hanya mendapatkan sedikit bahkan tidak sepeserpun
royalti, dari lagu tersebut. The Wailing Wailers resmi bubar pada 1966.
Bob Marley yang telah menikah dengan
dengan Rita Anderson pada Februari 1966 memutuskan pergi ke Amerika
Serikat. Selama delapan bulan dia bekerja sebagai buruh pabrik di
Newark, Delaware. Marley yang merasa masih mencintai dunia musik,
memutuskan kembali ke Jamaika dan menghidupkan lagi The Wailers bersama
Livingstone dan Tosh. Pada masa ini, Bob Marley secara spiritual maupun
politik telah mendalami ketertarikannya terhadap Rastafarian dan
akhirnya memilih Rastafarian menjadi ’’kepercayaan” yang dianutnya. The
Wailers pun memantapkan diri untuk mendedikasikan karya – karya mereka
untuk Rastafarian.
Akhirnya pada 1969, The Wailers memmulai
kembali perjalanannya dibawah arahan “Lee Scratch” Perry dan menambahkan
dua personil baru yakni Aston Barret untuk mengisi bass dan Carlton
Barret sebagai pemain drum. Beberapa lagu yang mereka rilis bersama
dengan Perry sebagai produser seperti, ‘Trench Town Rock’, ‘Soul Rebel’
dan ‘Four Hundred Years’ berhasil menjadi populer di Jamaika.
Seakan tidak ada habisnya, kemalangan
lagi- lagi menimpa Bob Marley dan The Wailers. Keadaan label rekaman
Jamaika yang saat itu sedang surut, memaksa Perry harus menutup labelnya
dan memutuskan kerjasama dengan The Wailers. Mereka lalu mendirikan
label indie bernama Tuff Gong pada 1971, dimana usahanya kembali
mendapat kendala karena Livingstone dipenjara dan Marley saat itu sedang
sibuk dengan projek pembuatan soundtrack film bersama Johnny Nash di
Swedia. Bersama John Nash, Bob Marley merilis beberapa lagu terkenal
seperti, ‘Stir It Up’ dan ‘Guava Jelly’.
Ditahun 1972, The Wailers yang sudah
kembali aktif bermusik, mendapatkan produser baru, Chris Blackwell.
Dibawah label Island Records, The Wailers merilis album yang diberi
Judul ’’Catch A Fire”. Album ini sukses mendapatkan hasil positif di
pasaran dan merupakan album pertama The Wailers yang didistribusikan di
luar Jamaika. Melanjutkan kesuksesannya, musik The Wailers pun semakin
dikenal dunia setelah mengeluarkan album kedua ’’Burnin” pada 1973 dan
salah satu lagunya ‘I Shot The Sherrif’ di cover oleh Eric Clapton
ditahun selanjutnya. Mereka kemudian melakukan tur di Amerika Serikat
dan Inggris sebagai band pembuka dalam konser Bruce Springsteen dan Sly
& The Family Stones. Sayangnya, ditengah kepopuleran The Wailers
yang sedang beranjak, Tosh dan Livingstone pergi dari grup tersebut
untuk berkarir sebagai penyanyi solo.
Ditinggal kedua sahabatnya, Bob Marley
kembali melanjutkan The Wailers dengan menggandeng grup vokal trio, The
I-Threes (Istri Bob Marley, Rita, tergabung didalamnya). Dengan nama
baru Bob Marley and The Wailers, mereka melakukan tur ke benua Eropa,
Amerika, Afrika, dan menjadi sangat terkenal. Selama beberapa tahun, Bob
Marley and The Wailers menghasilkan banyak lagu yang populer seperti,
’No Woman No Cry’ (1975), ‘Waiting In Vain’ (1977), ‘Jamming’ (1977),
‘Is this Love’ (1978, ‘Redemption Song’ (1980) serta ‘Could You Be
Loved’
Kehidupan Bob Marley setelah namanya
mendunia, tidaklah lepas dari masalah yang kembali menimpanya. Maley
yang dikenal sering membicarakan pada publik mengenai protes terhadap
perang dan pemerintah, isu-isu politik bahkan kepercayaan, seringkali
mendapatkan percobaan pembunuhan. Kejadian yang paling memilukan terjadi
pada 3 Desember 1976, ketika Bob Marley dan istri menderita luka
tembak, serta tewasnya sang manajer, Don Taylor akibat penyerangan
sekelompok orang bersenjata, saat The Wailers sedang latihan untuk
konser di Kingston National Park. Setelah Insiden penyerangan, konser
tersebut tetap diadakan dua hari kemudian. Setelah menyelesaikan konser,
Bob Marley pergi meninggalkan Jamaika dan tinggal di Inggris.
Tahun 1977, Bob Marley yang menetap di
Inggris, merilis album ’’Exodus” dan menjadi hits, beberapa lagunya pun
masuk kedalam U.K Top Charts dan bertahan selama hampir satu tahun.
Album tersebut, hingga sekarang masih dianggap salah album terbaik yang
pernah dibuat. Di tahun yang sama pada bulan April, Marley harus
menjalani perawatan pada jempol kaki kanannya yang terluka saat bermain
sepak bola. Saat diperiksa, Marley ternyata mengidap penyakit “Melanoma
(semacam sel kanker)”, yang berada dibawah kuku jempolnya. Dokter
menyarankan bagian jempol tersebut segera diamputasi agar kankernya
tidak menyebar. Namun, Bob Marley menolak amputasi tersebut karena
menurut ajaran Rastafarian yang dianutnya, amputasi merupakan hal yang
dilarang.
Berperang dengan kanker yang dideritanya,
Bob Marley tetap melanjutkan karirnya di dunia musik. Bob Marley and
The Wailers kemudian merilis album “Uprising” pada 1980 dan melakukan
tur keliling Eropa. Sayangnya, grup itu batal melanjutkan konser mereka
di Amerika Serikat, akibat kondisi kesehatan Bob Marley, yang semakin
memburuk akibat kanker yang sudah menyebar ke tubuhnya. Dia kemudian
dibawa ke Jerman dan menjalani pengobatan selama beberapa bulan
Marley yang divonis hidupnya tidak akan
lama lagi oleh dokter, berencana untuk pulang ke kampung halamannya di
Jamaika. Namun dia tidak berhasil menempuh perjalanan, dan Bob Marley
akhinya meninggal di Miami, Florida, pada tanggal 11 May 1981 pada usia
36 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar