Iwan Fals
yang bernama asli Virgiawan Listanto adalah seorang legenda hidup
Indonesia. Lahir di Jakarta, 3 September 1961; seorang Penyanyi
beraliran balada dan Country yang menjadi salah satu legenda hidup di
Indonesia.
Lewat lagu-lagunya, ia
memotret kehidupan dan sosial-budaya di akhir tahun 1970-an hingga
sekarang. Kritik atas perilaku sekelompok orang (seperti Wakil Rakyat,
Tante Lisa), empati bagi kelompok marginal (misalnya Siang Seberang
Istana, Lonteku), atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau
kadang-kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia) mendominasi tema
lagu-lagu yang dibawakannya.
Iwan Fals tidak hanya menyanyikan lagu ciptaannya tetapi juga sejumlah pencipta lain
Iwan Fals tidak hanya menyanyikan lagu ciptaannya tetapi juga sejumlah pencipta lain
Iwan yang juga sempat
aktif di kegiatan olahraga, pernah meraih gelar Juara II Karate Tingkat
Nasional, Juara IV Karate Tingkat Nasional 1989, sempat masuk pelatnas
dan melatih karate di kampusnya, STP
(Sekolah Tinggi publisistik). Iwan juga sempat menjadi kolumnis di beberapa tabloid olah raga.
(Sekolah Tinggi publisistik). Iwan juga sempat menjadi kolumnis di beberapa tabloid olah raga.
Kharisma seorang Iwan
Fals sangat besar. Dia sangat dipuja oleh kaum 'akar rumput'.
Kesederhanaannya menjadi panutan para penggemarnya yang tersebar di
seluruh Nusantara. Para penggemar fanatik Iwan Fals bahkan mendirikan
sebuah yayasan pada tanggal 16 Agustus 1999 yang disebut Yayasan Orang
Indonesia atau biasa dikenal dengan seruan Oi. Yayasan ini mewadahi
aktifitas para penggemar Iwan Fals. Hingga sekarang kantor cabang Oi
dapat ditemui setiap penjuru Nusantara dan beberapa bahkan sampai ke
mancanegara.
Perjalanan Hidup
Masa kecil Iwan Fals
dihabiskan di Bandung, kemudian ikut saudaranya di Jeddah, Arab Saudi
selama 8 bulan. Bakat musiknya makin terasah ketika ia berusia 13 tahun,
di mana Iwan banyak menghabiskan waktunya dengan mengamen di Bandung.
Bermain gitar dilakukannya sejak masih muda bahkan ia mengamen untuk
melatih kemampuannya bergitar dan mencipta lagu. Ketika di SMP, Iwan
menjadi gitaris dalama paduan suara sekolah.
Selanjutnya, datang
ajakan untuk mengadu nasib di Jakarta dari seorang produser. Ia lalu
menjual sepeda motornya untuk biaya membuat master. Iwan rekaman album
pertama bersama rekan-rekannya, Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang
tergabung dalam Amburadul. Tapi album tersebut gagal di pasaran dan Iwan
kembali menjalani profesi sebagai pengamen.
Setelah dapat juara di
festival musik country, Iwan ikut festival lagu humor. Arwah Setiawan
(almarhum), lagu-lagu humor milik Iwan sempat direkam bersama Pepeng,
Krisna, Nana Krip dan diproduksi oleh ABC Records. Tapi juga gagal dan
hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. Sampai akhirnya,
perjalanan Iwan bekerja sama dengan Musica Studio. Sebelum ke Musica,
Iwan sudah rekaman sekitar 4-5 album. Di Musica, barulah lagu-lagu Iwan
digarap lebih serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani
oleh Willy Soemantri.
Iwan tetap menjalani
profesinya sebagai pengamen. Ia mengamen dengan mendatangi rumah ke
rumah, kadang di Pasar Kaget atau Blok M. Album Sarjana Muda ternyata
banyak diminati dan Iwan mulai mendapatkan berbagai tawaran untuk
bernyanyi. Kemudian sempat masuk televisi setelah tahun 1987. Waktu
siaran acara Manasuka Siaran Niaga di TVRI, lagu Oemar Bakri sempat
ditayangkan di TVRI. Ketika anak kedua Iwan, Cikal lahir tahun 1985,
kegiatan mengamen langsung dihentikan.
Selama Orde Baru, banyak
jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat
pemerintah, karena lirik-lirik lagunya yang kritis.
Saat bergabung dengan
kelompok SWAMI dan merilis album bertajuk SWAMI pada 1989, nama Iwan
semakin meroket dengan mencetak hits Bento dan Bongkar yang sangat
fenomenal. Perjalanan karir Iwan Fals terus menanjak ketika dia
bergabung dengan Kantata Takwa pada 1990 yang di dukung penuh oleh
pengusaha Setiawan Djodi. Konser-konser Kantata Takwa saat itu sampai
sekarang dianggap sebagai konser musik yang terbesar dan termegah
sepanjang sejarah musik Indonesia.
Keluarga
Iwan lahir di Jakarta
pada 3 September 1961 dari pasangan Haryoso (ayah)(almarhum) dan Lies
(ibu). Iwan menikahi Rosanna (Mbak Yos) dan mempunyai anak Galang Rambu
Anarki (almarhum), Annisa Cikal Rambu Basae, dan Rayya Rambu Robbani.
Galang mengikuti jejak
ayahnya terjun di bidang musik. Walaupun demikian, musik yang ia bawakan
berbeda dengan yang telah menjadi trade mark ayahnya. Galang kemudian
menjadi gitaris kelompok Bunga dan sempat merilis satu album perdana
menjelang kematiannya.
Nama Galang juga
dijadikan salah satu lagu Iwan, berjudul Galang Rambu Anarki pada album
Opini , yang bercerita tentang kegelisahan orang tua menghadapi kenaikan
harga-harga barang sebagai imbas dari kenaikan harga BBM pada awal
tahun 1981 yaitu pada hari kelahiran Galang (1 Januari 1981).
Nama Cikal sebagai putri kedua juga diabadikan sebagai judul album dan judul lagu Iwan Fals yang terbit tahun 1991.
Galang Rambu Anarki
meninggal pada bulan April 1997 secara mendadak yang membuat aktifitas
bermusik Iwan Fals sempat vakum selama beberapa tahun. Galang dimakamkan
di pekarangan rumah Iwan Fals di desa Leuwinanggung Bogor Jawa Barat
sekitar satu jam perjalanan dari Jakarta. Sepeninggal Galang, Iwan
sering menyibukkan diri dengan melukis dan berlatih bela diri.
Pada tahun 2002 Iwan
mulai aktif lagi membuat album setelah sekian lama menyendiri dengan
munculnya album Suara Hati yang di dalamnya terdapat lagu Hadapi Saja
yang bercerita tentang kematian Galang Rambu Anarki. Pada lagu ini istri
Iwan Fals (Yos) juga ikut menyumbangkan suaranya.
Belajar Gitar, Ngamen, Hingga Rekaman
Aku lahir tanggal 3
September 1961. Kata ibuku, ketika aku berumur bulanan, setiap kali
mendengar suara adzan magrib aku selalu menangis. Aku nggak tau kenapa
sampai sekarang pun aku masih gambapng menangis. Biar begini-begini, aku
orangnya lembut dan gampang tersentuh. Sebagai contoh, menyaksikan
berita di televisi yang memberitakan ada orang sukses lalu medapatkan
penghargaan atas prestasinya, aku pun bisa menangis. Melihat seorang ibu
yang menunjukkan cinta kasihnya pada anaknya, juga bisa membuat aku
tersentuh dan lalu menangis
Bicara perjalanan karir
musikku, dimulai ketika aku aktif ngamen di Bandung. Aku mulai ngamen
ketika berumur 13 tahun. Waktu itu aku masih SMP. Aku belajar main gitar
dari teman teman nongkrongku. Kalau mereka main gitar aku suka
memperhatikan. Tapi mau nanya malu. Suatu hari aku nekat memainkan gitar
itu. Tapi malah senarnya putus. Aku dimarahi.
Sejak saat itu, gitar seperti terekam kuat dalam ingatanku. Kejadian itu begitu membekas dalam ingatanku.
Dulu aku pernah sekolah
di Jedah, Arab Saudi, di KBRI selama 8 bulan. Kebetulan di sana ada
saudara orang tuaku yang nggak punya anak. Karena tinggal di negeri
orang, aku merasakan sangat membutuhkan hiburan. Hiburan satu-satunya
bagiku adalah gitar yang kubawa dari Indonesia. Saat itu ada dua lagu
yang selalu aku mainkan, yaitu Sepasang Mata Bola dan Waiya.
Waktu pulang dari Jeddah
pas musim Haji. Kalau di pesawat orang-orang pada bawa air zam-zam, aku
cuma menenteng gitar kesayaganku. Dalam perjalanan dalampesawat dari
Jeddah ke Indonesia, pengetahuan gitarku bertambah. Melihat ada anak
kecil baga gitar di pesawat, membuat seorang pramugari heran. Pramugari
itu lalu menghampiriku dan meminjam gitarku. Tapi begitu baru akan
memainkan, pramugari itu heran. Soalnya suara gitarku fals. "Kokkayak
gini steman-nya?" tanyanya. Waktu itu, meski sudah bisa sedikit-sedikit
aku memang belum bisa nyetem gitar. Setelah membetulka gitarku,
premugari itu lalu mengajariku memainkan lagu Blowing in the Wind-nya
Bob Dylan.
Waktu sekolah di SMP 5
Bandung aku juga punya pengalaman menarik dengan gitar. Suatu ketika,
seorang guruku menanyakan apakah ada yang bisa memainkan gitar. Meski
belum begitu pintar, tapi karena ada anak perempuan yang jago memainkan
gitar, aku menawarkan diri. "Gengsi dong," pikirku waktu itu. Maka
jadilah aku pemain gitar di vokal grup sekolahku.
Kegandrunganku pada
gitar terus berlanjut. Saat itu teman-teman mainku juga suka memainkan
gitar. Biasanya mereka memainkan lagu-lagu Rolling Stones. Melihat
teman-temanku jago main gitar, aku jadi iri sendiri. Aku ingin main
gitar seperti mereka. Daripada nggak diterima di pergaulan, sementaar
aku nggak bisa memainkan lagu-lagu Rolling Stones, aku nekat memainkan
laguku sendiri. Biar jelek-jelek, yang penting lagu ciptaanku sendiri,
pikirku.
Untuk menarik perhatian
teman-temanku, aku membuat lagu-lagu yang liriknya lucu, humor,
bercanda-canda, merusak lagu orang. Mulailah teman-temanku pada ketawa
mendengarkan laguku.
Setelah merasa bisa
bikin lagu, apalagi bisa bikin orang tertawa, timbul keinginan untuk
mencari pendengar lebih banyak. Kalau ada hajatan, kawinan, atau
sunatan, aku datang untuk menyanyi. Dulu manajernya Engkos, yang tukang
bengkel sepeda motor. Karena kerja di bengkel yang banyak didatangi
orang, dia selalu tahu kalau ada orang yang punya hajatan.
Di SMP aku sudah
merasakan betapa pengaruh musik begitu kuat. Mungkin karena aku nggak
punya uang, nggak dikasih kendaraan dari orang tua untuk jalan-jalan,
akhirnya perhatianku lebih banyak trcurah pada gitar. Sekolahku mulai
nggak benar. Sering bolos, lalu pindah sekolah.
Aku merasakan gitar bisa
menjawab kesepianku. Apalagi ketika sudah merasa bisa bikin lagu, dapat
duit dari ngamen, mulailah aku sombong. Tetapi sesungguhnya semuanya
itu kulakukan untuk mencari teman, agar diterima dalam pergaulan.
Suatu ketika ada orang
datang ke Bandung dari Jakarta. Waktu itu kau baru sadar kalau ternyata
lagu yang kuciptakan sudah terkenal di Jakarta. Maksudku sudah banyak
anak muda yang memainkan laguku itu. Malah katanya ada yang menakui lagu
ciptaanku.
Sebelum orang Jakarta
yang punya kenalan produser itu datang ke Bandung, aku sebetulnya sudah
pernah rekaman di Radio 8 EH. Aku bikin lagu lalu diputar di radio itu.
Tapi radio itu kemudian dibredel.
Setelah kedatangan orang
Jakarta itu, atas anjuran teman-temanku, aku pergi ke Jakarta. Waktu
itu aku masih sekolah di SMAK BPK Bandung. Sebelum ke Jakarta aku
menjual sepeda motorku untuk membuat master. Aku tidak sendirian. Aku
bersama teman-teman dari Bandung: Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang
tergabung dalam Amburadul.
Kami lalu rekaman.
Ternyata kasetnya tidak laku. Ya, sudah, aku ngamen lagi, kadang-kadang
ikut festival. Setelah dapat juara di festival musik country , aku ikut
festival lagu humor. Kebetulan dapat nomor. Oleh Arwah Setiawan
(almarhum) lagu-lagu humorku lalu direkam, diproduseri Handoko. Nama
perusahaannya ABC Records. Aku rekaman ramai-ramai, sama Pepeng (kini
pembawa acara kuis Jari-jari, jadi MC, dll), Krisna, dan Nana Krip. Tapi
rekaman ini pun tak begitu sukses. Tetap minoritas. Hanya dikonsumsi
kalangan tertentu saja, seperti anak-anak muda.
Akhirnya aku rekaman di
Musica Studio. Sebelum ke Musica, aku sudah rekaman sekitar 4 sampai 5
album. Setelah rekaman di Musica itu, musikku mulai digarap lebih
serius. Album Sarjana Muda, misalnya, musiknya ditangani Willy
Soemantri.
Setelah tinggal di
Jakarta dan masuk studio rekaman, aku masih tetap ngamen dari rumah ke
rumah, kadang di Pasar Kaget, Blok M. Tapi setelah di Jakarta aku mulai
mikir honor. Soal honor ini mau nggak mau jadi salah satu pemacu juga.
Apalagi sebagai anak muda, aku juga butuh pacaran, butuh nonton. Ya,
kebutuhan yang wajar bagi anak-anak mudalah.
Waktu itu namanya uang
transport. Tapi kalau pas dadakan, biasana gratis. Aku ngamen nggak
pilih-pilih tempat. Panggung hajatan, sunatan, nggak masalah. Lagu lagu
yang kubawakan waktu ngamen biasanya lagu-lagu baru yang menceritakan
masalah-masalah aktual yang terjadi di masyarakat.
Dulu jarang sekali
pemusik memainkan lagu-lagu country. Apalagi main gitar sama harmonika
sekaligus, jarang. Kalau melihat tanggapa penonton, aku raca cukup
positif.
Kalau aku ngamen aku
juga selalu nyanyi dengan riang gembira, meski syairnya sedih.
Prinsipku, orang sedih kan boleh saja bergembira. Soalnya, dulu kalau
aku membawakan lagu-lagu sedih, teman-temanku pada kabur semua.
Tanggapan untuk ngamen
juga bertambah. Aku mulai diundang ke mana-mana. Mungkin karena pengaruh
album Sarjana Muda (waktu itu album ini sangat terkenal. Semua lagunya
selalu dinyanyikan anak-anak muda).
Waktu itu penghasilan
dari ngamen saja per hari pernah sampai 20 ribu rupiah. Sebab orang yang
kita datangi ngasih uangnya bukan untuk ngusir. Kalau dihitug sekarang
barangkali nilainya sampai 300 ribu. Tapi, ya namanya ngamen, tentu
penghasilannya tidak pasti. Kalau diambil rata-rata sehari sekitar dua
ribu rupiah. Berarti sebulan bisa 60 ribu. Jumlah yang cukup lumayan
untuk ukuran waktu itu, di awal tahun 1980-an.
Waktu itu orang nggak
tahu siapa Iwan Fals. Meski sudah rekaman, dan kasetku lumayan sangat
laku, tapi orang kebanyakan hanya tahu nama nggak kenal wajah. Mungkin
karena aku nggak pernah masuk televisi (TVRI). Aku benar-benar stop
ngamen setelah lahir anak keduaku, Cikal yang lahir tahun 1985.
Berharap Lewat Musik Bisa Memberi Arti
Dari kecil aku
bercita-cita jadi tentara. Untuk memperjuangkan cita-citaku itu, aku
menekuni olahraga. Aku aktif di bidang beladiri, silat, karate, kung fu,
juga jenis olahraga yang lain, seperti sepakbola, basket, dan volly. Di
bidang olahraga aku sempat berprestasi. Pernah juara II Karate Tingkat
Nasional, terus pada 1989 Juara IV Karate Tingkat Nasional. Aku sempat
masuk pelatas. Aku juga sempat melatih karate di tempatku kuliah, STP
(Sekolah Tinggi Publisistik)
Tapi ternyata musik
lebih menarik-narik. Musik aku rasakan lebih menggelitik. Olahraga aku
ambil untuk kesehatan saja. Filosofi menang-kalah aku hilangkan. Kalau
terjun di dunia olahraga, di sana selalu saja ada yang menang atau
kalah. Sementara, aku kan lembut. Jadi, kalau melihat musuh kalah dalam
komite Karate, ya aku trenyuh juga. Makanya, kalau mau ikut perlombaan,
nomor komite aku tinggalkan. Aku ambil Kata Perorangan. Jadi benar-benar
seni karatenya. Dan aku ambil nilai sportivitasnya.
Saat bergabung dengan
kelompok SWAMI, aku mulai serius di musik. Waktunya memang telah
disepakati, 3 tahun. Setelah itu, bubar. Jadi memang proyek SWAMI cuma 3
tahun, bukan karena ada persoalan.
Di Swami banyak hikmah
yang dapat kuambil. Kita kan makhluk sosial yang tidak mungkin lepas
dari pengaruh orang lain. Pasti ada pengaruh, dari dalam atau dari luar.
Dari situ syair-syairku
jadi berubah. Aku menilai mulai ada pengendapan, tidak lagi frontal.
Juga mulai universal. Apakah itu suatu kemajuan atau kemunduran, aku
tidak tahu. Yang aku tahu ada perubahan dalam syair-syairku, dan
menurutku itu wajar saja. Namun, kalau misalnya basic musikku "merah",
paling akan berubah jadi "merah tua" atau "merah muda". Nggak mungkin
berubah menjadi "hitam", "hijau", "kuning", atau biru".
Aku berharap dalam musik kehadiranku berarti. Syukur-syukur buat orang lain juga berarti.
Aku menulis syair
inspirasinya lebih banyak dari hati. Dari sana aku lebih merdeka dan
bebas mengekspresikan diri. Aku merasa tidak ada tekanan dari manapun,
seperti pesanan teman, pesanan produser, atau tekanan dari diri sendiri.
Dulu, proses penulisan
syair bermula dari baca koran, lantas bikin syair. Sekarang penulisan
syairku tak harus berangkat dari membaca koran. Terkadang syair yang aku
bikin tak ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi. Bukan berarti
aku ingin merenung atau kontemplasi. Tapi aku tetap baca koran. Dengan
membaca terus tanpa mengeluarkan langsung, aku lebih memperkaya
perbendaharaan kata.
Dalam membuat lagu aku
juga tidak menunggu mood. Aku setiap ahri bikin lagu. Seperti petani,
dari Subuh dia bangun ambil pacul langsung pergi ke sawah dan
mencangkul. Tidak pernah berpikir harus mencangkul yang mana dan nggak
pernah berpikir mau tumbuh atau keserang hama.
Saja juga seperti aku.
Perkembanganku sekarang begitu juga. Aku tidak pernah berniat bikin
lagu. Yang aku lakukan, pagi ambil gitar, entah apa jadinya. Latihan
jari saja, atau bikin syair, nggak tahu. Aki baca buku, baca koran.
Nggak diniat, "aku mau bikin lagu".
Aku masuk televisi
setelah tahun 1987. Rekaman pertama tahun 1979. Waktu siaran Manasuka
Siaran Niaga di TVRI, sempat sih lagu Oemar Bakri keluar di TVRI.
Pendapatanku waktu itu
masih keci. Waktu itu aku dibayar murah. Sekitar Rp 1,5 juta satu album
dengan sistem jual putus. Pendapatan sebesar itu nggak cukup untuk
kebutuhan anak satu. Ditambah Yos (Rosana) mengandung Cikal. Sudah pasti
kebutuhan meningkat. Ditambah lagi harga-harga barang naik. Sampai 1983
aku nggak bisa mencukupi benar. Begitu lewat 1983, aku mulai bisa
bernapas.
Nah, untuk menutupi
kebutuhan keluarga, karena aku nggak ada kerjaan lain selain bernyanyi,
aku mengamen. Terkadang dengan mobil colt abu-abu aku ngompreng. Dengan
mobil itu aku narik penumpang sendiri. Istilahnya tarikan gelap.
Keluarag tidak tahu. Sebab aku narik omprengan pas aku pulang dari
studio. Lumayan, mobilku dapat penumpang 15. Tapi tidak kulakukan
secararutin.
Intinya aku senang
menyanyi. Terus apa salahnya kalau dalam menyanyi itu ada manfaatnya
buat kehidupanku. Sebab aku juga nggak mau jadi maling.
Memang pandangan
masyarakat waktu itu menganggap pengamen identik dengan pengemis. Maka
dari itu jarang sekali pengamen yang beroperasi.
Style-ku saat ngamen
biasa saja. Tidak berpenampilan seperti gembel. Memang waktu itu celana
robel di dengkul, tapi saat itu memang sedang trend seperti itu.
Orang tidak tahu aku
ngamen. Orang tuaku sempat bingung aku tidak pernah mengeluh soal
keuangan. Suatu hari aku ngamen di kompleks ABRI. Waktu itu ibuku sedang
arisan di sana. Eh, teman ibuku tahu aku ngamen. Terus teman ibuku
tanya sama ibu, "Anak ibu ngamen ya?" Aku terus dimarahi.
Bakat seniku memang
menurun dari orang tuaku, kedua orang tuaku senang musik. Ibuku malah
senang difoto, ayah senang lukis. Sewaktu kecil aku sudah punya piano.
Di rumah terkadang berisik, kalau sedang waktu-waktu sholat sering
dimarahi. Orang tuaku ketat dalam mendidik soal agama. Hasilnya, aku
pernah mendapat juara adzan tingakt DKI ketika masih SD.
Masa kecilku akrab
dengan harmonika. Dulu pernah dikasih harmonika merk Hero. Di depan
kunci C dan di sisi lainnya kunc G. aku nggak belaajr secara khusus,
karena harmonika kan tinggal niup saja.
Sebagai penyanyi dan
pencipta lagu, Iwan Fals punya tempat istimewa dalam peta musik
Indonesia. Generasi akhir 1970-an hingga sekarang yang merasa terwakili
oleh lagu-lagunya, menempatkan Iwan Fals sebagai idola. Lagu-lagu Iwan
memang khas, kadang bernada keras menyengat, kadang lembut menyentuh,
tak jarang pula ia bertutur dengan bercanda. Lagu-lagu Iwan semakin
memiliki kekhasan karena kata-kata yang ia gunakan tidak klise.
Hal lain yang bisa kita
baca, banyak memang musisi yang mampu membuat melodi yang tak kalah
enaknya. Tapi soal membuat lirik, Iwan memang sulit tergantikan, atau
bahkan tak ada duanya. Tak hanya pada lagu-lagu kritik sosialnya, tetapi
juga pada lagu-lagu cinta. Meskipun bertema cinta, tapi di dalamnya
tetap tersimpan visi dan pesan-peran kehidupan. Ini yang sangat jarang
kita temukan pada lagu karya musisi lain.
Tentu yang membuat sosok
Iwan begitu besar, bukan sekedar karena kemampuannya meracik lirik yang
luar biasa, tapi yang tak kalah penting adalah lirik-lirik itu menjadi
bagian integral dari visi dan perjalanan hidup Iwan sehari-hari. Lagunya
adalah sikap hidupnya, dan itulah yang dia kerjakan. Iwan tahu benar
perbedaan makna berindustri dengan berkesenian atau berkebudayaan.
Dengan segala karya dan
karsa yang sudah ia hasilkan, wajar kalau Iwan Fals menjadi penyanyi dan
musisi besar negeri ini. Iwan adalah legenda. Tapi sungguh pun banyak
kalangan yang mengidolakannya, Iwan tetaplah bersahaja, tetap rendah
hati, dan apa adanya.
Di bawah ini adalah
beberapa tulisan biografi Iwan Fals. Dalam perjalanan hidupnya yang tak
selalu mulus dan penuh liku, kita belajar banyak sosok Iwan Fals untuk
menjadi manusia yang semakin baik, manusia selalu yang belajar dari
perjalanan hidup masa lalu, manusia yang berguna, manusia yang tak
pernah lelah melawan ketidakadilan dan menemukan kebenaran.
Autobiography
Nama Lengkap : Virgiawan Listanto
Nama Panggilan : Iwan
Nama Musisi : Iwan Fals
Tempat Tanggal/Lahir : Jakarta, 3 September 1961
Tidak ada komentar:
Posting Komentar